BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Penyuluhan Pertanian diselenggarakan oleh berbagai pihak dan
dalam perkembangannya telah mengalami proses transformasi, dari penyuluhan yang
berorientasi produksi kepada penyuluhan yang berorientasi agribisnis dengan
pendekatan partisipatif. Keberhasilan penyelenggaraan penyuluhan tidak terlepas
dari dukungan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai dan payung hukum dari Pemerintah Pusat berupa Undang-undang
No. 16 Tahun 2006 tentang
Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan,
sehingga keberadaannya menjadi penting di setiap tingkatan kelembagaan. Dalam era revitalisasi penyuluhan pertanian di mana dilakukan penataan
kelembagaan, ketenagaan maupun sistem penyelenggaraan penyuluhan pertanian mulai dari pusat
hingga daerah, dalam rangka efektivitas dan efisiensi pelaksanaan penyuluhan
pertanian di semua tingkatan kelembagaan penyuluhan pertanian.
Sebuah Lembaga
dalam mewujudkan eksistensinya dalam
rangka mencapai tujuan memerlukan
perencanaan sarana dan prasarana yang tepat. Suatu organisasi,
menurut Riva’i (2004:35) “tanpa
didukung pegawai/karyawan yang
bekerja dengan baik dari segi kuantitatif, kualitatif, strategi dan
operasionalnya, maka
lembaga itu tidak
akan mampu mempertahankan keberadaannya, mengembangkan dan memajukan
lembaga tersebut kemasa yang akan datang”. Oleh karena itu disini diperlukan adanya langkah-langkah identifikasi dan
analisa guna lebih menjamin bahwa
lembaga ini tersedia sesuai kebutuhan untuk
mendukung berbagai kegiatan,
fungsi dan tugas yang sesuai,
cepat, tepat dan bermanfaat. Perencanaan kelembagaan merupakan proses
manajemen dalam menentukan
bagaimana menentukan langkah-langkah penyuluhan yang diinginkan di masa depan,
dan motivasi yang
diperlukan untuk melakukan semua proses
dalam kegiatan penyuluhan pertanian.
B.
Tujuan
Tujuan dari identifikasi Kelembagaan Penyuluhan di daerah ini adalah :
1.
Memenuhi amanat UU No. 16 Tahun 2006 Tentang SP3K
2.
Mengoptimalkan kelembagaan penyuluhan
pertanian yang ada di daerah, maupun pusat
3.
Untuk
mengetahui kebutuhan yang diperlukan oleh lembaga penyuluhan dalam seluruh
rangkaian kegiatan penyuluhan, sehingga tujuan pembangunan pertanian dapat
tercapai sesuai dengan harapan semua pihak.
4.
Mengetahui
faktor apa yang membuat suatu proses kegiatan dapat berjalan dengan baik
ataupun sebaliknya faktor apa yang membuat suatu kegiatan tidak bias berjalan sesuai dengan
harapan Bangsa Indonesia yaitu menuju masyarakat memiliki ketahanan pangan
dan Negara Indonesia yang berswasembada pangan.
BAB
II
RUANG LINGKUP
KELEMBAGAAN
a. Ruang
Lingkup Identifikasi
Yang menjadi ruang lingkup
kegiatan identifikasi sarana dan prasarana ini adalah Balai Penyuluhan
Pertanian Kecamatan Padas
Kabupaten Ngawi
Provinsi Jawa Timur.
b. Pengertian
Seperti
halnya yang terdapat dalam Undang-undang No. 16 tahun 2006 ini; yang dimaksud
dengan :
1.
Penyuluhan Pertanian adalah proses
pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu
menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar,
teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta
meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
2.
Kelembagaan penyuluhan pertanian
adalah Lembaga Pemerintah dan/atau masyarakat yang mempunyai tugas dan fungsi
menyelenggarakan penyuluhan pertanian.
3.
Kelembagaan penyuluhan pemerintah sebagaimana dimaksud
a. pada tingkat pusat
berbentuk badan yang menangani penyuluhan;
b. pada tingkat provinsi
berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan;
c. pada tingkat
kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan;
d.
pada tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan.
4 Kelembagaan penyuluhan swasta sebagaimana
dimaksud dapat dibentuk oleh pelaku usaha dengan memperhatikan kepentingan
pelaku utama serta pembangunan pertanian.
5. Kelembagaan penyuluhan swadaya sebagaimana
dimaksud dibentuk atas dasar kesepakatan antara pelaku utama dan pelaku usaha.
Kelembagaan penyuluhan pada tingkat
desa/kelurahan berbentuk pos penyuluhan desa/kelurahan yang bersifat
nonstruktural
c. Landasan
Hukum
Landasan hukum pelaksanaan kegiatan identifikasi kelembagaan ini adalah :
Undang-undang
Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan N0. 16 tahun 2006; Pasal 8 sampai dengan Pasal 19. Dalam Undang-undang SP3K No. 16 tahun 2006, telah
dengan jelas mengemukakan bahwa kelembagaan penyuluhan dan kinerja penyuluh, terbagi menjadi 3
yaitu Kelembagaan penyuluh Pemerintah,
Swasta dan Swadaya, agar
penyuluhan dapat diselengarakan dengan efektif dan efisien, serta Pemerintah
menyediakan payung hukum
penyuluhan diatur sesuai dengan peraturan menteri, gubernur, bupati atau
walikota.
d. Identifikasi
Kelembagaan
Dalam penjelasannya Kepala BPP menugaskan Tim Pelaksana Kegiatan Balai penyuluhan
pertanian dan memberikan arahan teknis untuk melakukan analisis standar kelembagaan penyuluhan di kecamatan dan di
desa/kelurahan, arahan teknis
tersebut sekurang-kurangnya memuat:
1. Dasar pelaksanaan analisis standar penyuluh baik di
kecamatan ataupun di desa,
2. Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan analisis standar penyuluh.
3.
Manfaat analisis standar penyuluh,
4.
Hasil yang diharapkan dari analisis standar penyuluh, dan
5.
Unsur-unsur yang terlibat dan uraian tugasnya dalam melaksanakan analisis
standar Penyuluh.
v
TPK Balai Penyuluhan menyusun rencana kegiatan analisis standar penyuluh di kecamatan dan di tingkat desa/kelurahan sekurang- kurangnya berisi tentang
uraian kegiatan,
sasaran,
pelaksana kegiatan,
dan jadwal pelaksanaan kegiatan penyuluhan.
v
TPK melakukan
pembagian tugas pada semua kelompok fungsional dan penyuluh untuk melakukan identifikasi dan analisis terhadap kelembagaan penyuluhan pertanian, yang meliputi hal-hal yang termuat dalam Undang-undang No. 16 tahun 2006, Serta melakukan identifikasi
dan menyusun draf analisis sesuai pembagian tugas masing-masing kelompok fungsional.
v Tim Pelaksana Kegiatan Balai penyuluhan, staf fungsional dan Penyuluh mereview,
merevisi dan menfinalkan dokumen analisis setiap
komponen dari draf analisis.
v
TPK merangkum hasil analisa dan
identifikasi dari dokumen analisa setiap komponen dan
menyusun draf laporan analisis standar penyuluhan secara menyeluruh untuk satuan kerja Badan Penyuluhan Pertanian Kecamatan.
v
TPK Balai Penyuluhan
menggandakan
dokumen
laporan
hasil analisa
dan mendistribusikan
kepada pihak yang selanjutnya diperlukan guna menyiapkan pemenuhan kebutuhan
penyuluhan pertanian tersebut.
e. Hasil
Identifikasi Kelembagaan
Dari hasil identifikasi Kelembagaan di BPP Kecamatan Padas, maka didapat hasil bahwa pada
tingkat kabupaten/kota kelembagaan penyuluhan pertanian berbentuk badan pelaksana
penyuluhan; dan pada tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan.
Kelembagaan penyuluhan swasta dapat
dibentuk oleh pelaku usaha dengan memperhatikan kepentingan pelaku utama serta pembangunan
pertanian setempat.
Kelembagaan penyuluhan swadaya dapat dibentuk atas dasar kesepakatan antara
pelaku utama dan pelaku usaha. Kelembagaan penyuluhan pada tingkat
desa/kelurahan berbentuk pos penyuluhan desa/kelurahan yang bersifat nonstruktural.
Pada intinya Kelembagaan Penyuluhan
Pertanian di Kabupaten Ngawi pada umumnya sudah sesuai dengan amanat
Undang-undang SP3K No. 16 Tahun 2006 walaupun masih perlu banyak pembenahan dan
penyelarasan tugas, pokok fungsi dari para penyuluh baik di tingkat Kecamatan
maupun di tingkat Desa/Kelurahan karena dalam penyusunan programa penyuluhan
sering tidak tepat waktunya dalam pengusulan kepada pemerintah daerah sehingga
programa penyuluhan yang telah disusun tidak dapat terealisasikan pada tahun
yang di harapkan, selain itu masih kurangnya kepedulian pemerintah daerah dalam
menjalankan programa penyuluhan pertanian yang sudah dibuat di tiap desa yag
kemudian di kumpulkan di kecamatan untuk di usulkan ke pemerintah daerah untuk
bisa di syahkan dalam peraturan daerah, yang berdampak pada kurang maksimalnya
hasil pertanian di tiap daerahnya pada tiap tahunnya.
Inilah kelemahan sistem pemerintahan
otonomi daerah dimana pengambilan keputusan menjadi otoritas daerah
masing-masing yang membuat sektor pertanian kurang mendapat perhatian lebih
karena dampak dari programa tersebut tidak bisa langsung terlihat pada saat itu
juga namun butuh waktu dan proses yang nantinya akan kelihatan dampak dari
terpenuhinya kebutuhan dalam programa penyuluhan perrtanian tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil identifikasi
tersebut diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa kelembagaan yang ada didaerah masih banyak yang perlu dibenahi
dan disesuaikan dengan tugas, pokok, dan fungsinya, dan belum terakomodasinya programa penyuluhan pertanian
oleh Pemerintah Daerah yang berdampak jelas sangat
mempengaruhi kinerja dan efektifitas kegiatan penyuluhan pertanian yang ada
didaerah tersebut.
Dalam menciptakan suatu
kondisi penyuluhan yang efektif maka sangatlah penting diperhatikan kebutuhan penyuluh
pertanian dan tugas, pokok, fungsinya, sehingga tidak ada lagi hal-hal yang menjadi kendala
dalam kegiatan penyuluhan penunjang kegiatan.
Kegiatan penyuluhan adalah
suatu rangkaian sistim yang sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
penunjangnya lainnya, sehingga untuk meminimalkan faktor penghambat penyuluh
dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan
maka pemerintah telah membuat suatu ketentuan yang mengatur tentang bagaimana kelembagaan
penyuluhan pertanian
yang efektif untuk memungkinkan tercapainya tujuan penyuluhan sesuai program
yang diharapkan, bukan upaya mengekploitasi tenaga dan pikiran tanpa mengunakan
sarana dan prasarana apa yang harus disediakan agar metode, teknik dan
materi bisa diakses,
ditransformasi dan dipahami serta mau dilaksanakan oleh pelaku usaha.
DAFTAR
PUSTAKA
Tjokrowinoto, Moeljarto, 1993, Politik Pembangunan
Sebuah Analisis,
Konsep, Arah dan
Strategi, Yogyakarta : Tiara Wacana.
Undang-undang Sistim Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan N0. 16 tahun 2006;
Peraturan
Menteri Pertanian No. 52 tahun 2009. Tentang Metoda Penyuluhan Pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar